RAN: 17 Brand dan Bank Gagal Hentikan Deforestasi serta Pelanggaran HAM

Ilustarsi deforestasi. (pixabay)

Editor: Tatang Adhiwidharta - Kamis, 16 Juni 2022 | 19:25 WIB

Sariagri - Sebanyak 17 merek dan bank multinasional raksasa gagal menghentikan deforestasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam praktik bisnisnya, menurut laporan terbaru Rainforest Action Network (RAN).

Laporan tersebut mengevaluasi kebijakan publik dan komitmen perusahaan merek dan bank yang menggunakan dan mendanai komoditas yang beresiko terhadap hutan hujan tropis terakhir di dunia dalam kegiatan produksi.

Perusahaan merek yang dievaluasi antara lain Colgate-Palmolive, Ferrero, Kao, Mars, Mondelēz, Nestlé, Nissin Foods, PepsiCo, Procter & Gamble; dan Unilever.

Sedangkan bank yang mendukung pembiayaan merek-merek di atas antara lain ABN Amro, Bank Negara Indonesia (BNI), CIMB, DBS, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), JPMorgan Chase, dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG).

Hasil laporan evaluasi RAN itu tidak menemukan satupun dari 17 merek dan bank multinasional telah mengambil tindakan yang memadai untuk mengurangi perusakan hutan, perampasan lahan dan kekerasan terhadap masyarakat adat dan lokal.

Adapun Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Malaysia CIMB, dan bank multinasional milik China ICBC, mendapatkan reputasi paling buruk dengan nilai 'F' dalam evaluasi. Sedangkan perusahaan merek raksasa seperti Procter & Gamble, produsen coklat Mondelēz, dan produsen makanan Jepang Nissin Foods juga tertinggal dalam mewujudkan kebijakan untuk mengakhiri deforestasi dan pelanggaran HAM dalam rantai pasok komoditas yang berisiko terhadap hutan.


Juru Kampanye Hutan RAN, Fitri Arianti mengatakan kebijakan Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (NDPE) perusahaan-perusahaan tersebut tidak berlaku untuk semua pemasok, penerima investasi, dan klien yang memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan, serta tidak menyertakan semua komoditas yang berisiko terhadap hutan yang dibeli atau didanai perusahaan dan hanya berlaku pada satu komoditas.

"Ini menjadi celah besar yang harus diperbaiki," ungkap Fitri dalam konferensi pers virtual yang diikuti Sariagri, Kamis (16/6/2022).

Fitri menjelaskan, Lemahnya tindakan yang dilakukan termasuk metode penerapan kebijakan yang tidak kredibel juga menjadi dasar penilaian perusahaan-perusahaan ini mendapat nilai buruk.

"Kami menilai perusahaan merek dan bank ini tidak memiliki tolak ukur yang jelas dalam menerapkan kebijakan ini," jelas Fitri.

RAN juga mengingatkan bahwa klaim yang telah dibuat oleh banyak perusahaan merek dan bank tentang penghapusan deforestasi atau pelanggaran HAM yang dilakukan hingga saat ini tidak dapat dipercaya karena tidak adanya mekanisme verifikasi independen yang kredibel yang digunakan untuk memastikan kebijakan NDPE tersebut dipatuhi.

Lebih lanjut, laporan RAN mengungkapkan, sejak diadopsinya Perjanjian Paris, bank-bank raksasa dunia ini terbukti telah memberikan setidaknya USD 22,5 miliar kepada perusahaan komoditas berisiko hutan yang beroperasi di tiga kawasan hutan tropis terbesar di Indonesia, Cekungan Kongo, dan Amazon.

JPMorgan Chase adalah yang terbesar, memberikan USD 6,9 miliar, sementara MUFG mengikuti dengan USD 4 miliar. BNI, CIMB dan ICBC masih tertinggal karena tidak memiliki kebijakan NDPE sama sekali, meski dalam beberapa tahun terakhir bank-bank lain seperti MUFG menerbitkan kebijakan NDPE parsial untuk sawit.

Sementara beberapa merek telah melakukan perbaikan pada kebijakan mereka selama setahun terakhir, termasuk Colgate-Palmolive, Ferrero, dan Kao, meski masih tertinggal dari rekan-rekan lainnya.

Baca Juga: RAN: 17 Brand dan Bank Gagal Hentikan Deforestasi serta Pelanggaran HAM
Tantangan dan Peluang Taksonomi Hijau OJK dalam Perbaikan Tata Kelola SDA di Indonesia



Unilever jadi satu-satunya merek yang telah mengadopsi kebijakan yang kredibel untuk mengatasi dampaknya berikut risiko dari rantai pasokan komoditasnya. Nestlé tetap menjadi satu-satunya merek yang berkomitmen untuk mengungkapkan jejak hutannya di seluruh dunia.

 Bank CIMB Malaysia memang mengumumkan kebijakan NDPE, namun pengumuman itu tidak menjelaskan cakupan kebijakan dan tidak merinci komoditas mana yang akan diikutsertakan berikut waktu pelaksanaan kebijakannya.

Edi Sutrisno dari TuK Indonesia, menyarankan agar bank-bank yang tertinggal dalam evaluasi ini untuk segera menghentikan pendanaanya dari perusahaan-perusahaan yang terbukti terkait dengan deforestasi dan pelanggaran HAM serta mendorong agar bank-bank yang beroperasi di Indonesia untuk menyelaraskan portfolio pendanaan mereka dengan Taksonomi Hijau yang baru dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun ini.