APHI Usulkan Pajak Karbon Dipungut Atas Transaksi Perdagangan Karbon

Ilustrasi - Kawasan industri. (Pixabay/Belopitov Nikola)

Editor: Arif Sodhiq - Jumat, 6 Agustus 2021 | 08:00 WIB

SariAgri - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengusulkan pajak karbon dipungut atas transaksi dari perdagangan karbon. Alasannya dalam perdagangan karbon, penjual dan pembeli memperoleh manfaat dari transaksi yang dilakukan.

Penerapan pajak karbon berdasarkan transaksi perdagangan karbon perlu penguatan melalui percepatan infrastruktur kelembagaan yang saat ini sedang digarap seperti proses pendaftaran di Sistem Registrasi Nasional, pengukuran, pelaporan dan verifikasi, penerbitan sertifikat penurunan emisi serta kelembagaan perdagangan karbon domestik.

Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo mengatakan menilai perlu penetapan level emisi di setiap sektor, bahkan di setiap entitas usaha yang akan digunakan sebagai base line untuk menghitung pengurangan emisi.

"Karena itu pengenaan pajak karbon dalam RUU KUP perlu mempertimbangkan mekanisme perhitungan emisi tiap sektor usaha dan kesiapan infrastruktur kelembagaan," ujarnya.

Ada lima sektor usaha yang ditargetkan menurunkan emisi 29 persen (setara dengan pengurangan emisi 834 juta ton CO2e) dengan kemampuan sendiri dan sampai 41 persen (setara dengan 1.081 juta ton CO2e) dengan dukungan internasional pada tahun 2030. Kelima sektor itu adalah energi, waste, IPPU (industrial process and production use), pertanian dan kehutanan.

”Dari total target tersebut, sektor kehutanan dituntut menyumbang penurunan emisi sebesar 497 juta ton CO2e dengan upaya sendiri dan sebesar 650 juta ton CO2e dengan bantuan internasional,” kata Indroyono.

Pemerintah, lanjut dia, perlu menetapkan batas ambang emisi yang harus dicapai masing-masing sektor itu dibandingkan dengan business as usual (BAU), atau masing-masing sektor menyatakan pengurangan emisi dari hasil mitigasi sektor lain.

Baca Juga: APHI Usulkan Pajak Karbon Dipungut Atas Transaksi Perdagangan Karbon
20.000 Kampung Iklim Ditargetkan Rampung pada 2024

"Bagi sektor usaha yang mencapai target, pemerintah selayaknya memberikan penghargaan antara lain berupa insentif fiskal maupun non fiskal, dan bagi yang belum mampu, dapat diberikan pilihan melalui penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam bentuk perdagangan emisi atau offset karbon,” kata Indroyono.

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan pengenaan pajak karbon melalui revisi Undang-Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Pengenaan pajak karbon akan diberlakukan untuk emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup, dengan tarif paling rendah Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Video terkait: