Berita kehutanan - Kategori sumber nafkah petani penggarap ada dua, yakni 83,33 persen sangat tergantung lahan garapan dan 16,67 persen cukup tergantung.
SariAgri - Perkembangan luas kawasan hutan konservasi di Indonesia sangat signifikan. Pada 2003 terdapat perubahan hutan produksi terbatas menjadi kawasan konservasi seluas 40.156,75 hektare dan disusul 2004 seluas 50.299,81 hektare.
Salah satu contohnya adalah Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang telah mengalami perluasan seluas 7.081,76 hektare. Kawasan ini berasal dari bekas kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas Perum Perhutani.
Tujuan perluasan ini untuk restorasi penetapan kawasan konservasi dan pemulihan sebagaimana fungsinya. Tetapi, dengan munculnya SK Menteri Kehutanan Nomor 174/2003 tentang perluasan kawasan TNGGP. Dengan kondisi itu petani penggarap lahan kehilangan akses atas pemanfaatan Sumber Daya Lahan (SDL) yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, dikatakan bahwa kawasan konservasi melarang adanya kegiatan pertanian dan mengambil hasil hutan. Peraturan tersebut menyebabkan konflik kepentingan atas SDL di kawasan TNGGP antara petani penggarap lahan dengan Balai Besar TNGGP.
Petani mengklaim mempunyai hak atas lahan kawasan perluasan, sedangkan Balai Besar TNGGP memandang bahwa kawasan perluasan merupakan milik negara atau state property.
Dalam Jurnal Media Konservasi, Institut Pertanian Bogor dijelaskan bahwa 32 persen petani menyatakan belum siap meninggalkan lahan garapan dan 25 persen menolaknya.
"18 persen sudah menyatakan keluar dengan berat hati karena takut dengan peraturan perundangan,” kata Arief Sudhartono, selaku peneliti.
Baca Juga: Perkenalkan Sorgum, Tanaman Pangan yang Tahan Terhadap Musim Kemarau
Pakar: Benih dengan Postur Tinggi Cocok untuk Lahan Rawa
Dalam penelitiannya, dijelaskan kategori sumber nafkah petani penggarap ada dua, yakni 83,33 persen sangat tergantung lahan garapan dan 16,67 persen cukup tergantung. Hasil ini mengindikasikan 100 persen petani penggarap masih bergantung kepada lahan di dalam kawasan hutan.
Pandangan masyarakat yang merasa punya hak atas lahan garapan di kawasan TNGGP mengupayakan akses atas lahan garapan yang ada di dalam kawasan hutan. Ada dua alasan utama yang mendasari pemikiran petani tersebut. Pertama, karena sudah puluhan tahun menggarap. Kedua, karena penting untuk mendapatkan sumber pendapatan dan memenuhi kebutuhan hidup.
Arief mengatakan akses petani di kawasan perluasan TNGGP hanya ada dua tipe, yakni tipe akses yang berupa penggarapan lahan kawasan hutan dan tipe akses pemanenan hasil hutan.
Tipe akses penggarapan lahan dapat dikelompokan lagi ke dalam sub-tipe berdasarkan pola pemanfaatan lahan garapan. Sub-tipe ini mencerminkan variasi tingkat ketergantungannya terhadap lahan kawasan.
Pola usaha tani ini mempengaruhi besar kecilnya dorongan untuk melakukan akses atas lahan. Selanjutnya, mempengaruhi tuntutan dan upaya-upaya yang dilakukan masyarakat kepada Balai Besar TNGGP
Dalam penelitiannya, dikatakan bahwa pola usaha tani masyarakat yang tercermin dari pilihan jenis tanaman yang dikembangkan dipengaruhi oleh faktor keadaan ekonomi.
Arief mengatakan, petani dengan latar belakang cukup, memilih jenis tanaman kayu-kayuan dan tanaman MPTs seperti nangka, alpukat, pete, jengkol, pala, cengkeh. Sedangkan petani miskin kebanyakan memilih jenis tanaman semusim dan tanaman pokok.
Di sisi lain, Balai Besar TNGGP menyelenggarakan program-program pemberdayaan petani melalui adopsi pohon, pemanfaatan tanaman tradisonal serta membuat program model kampung konservasi. Upaya-upaya ini dilakukan untuk mengurangi konflik.
"Masyarakat perlu dilibatkan sebagai pelaku pengelolaan sumber daya alam di kawasan perluasan dalam bentuk manajemen kolaboratif," tutup Arief.