Walhi: Alih Fungsi Hutan di NTB Jadi Penyebab Bencana Longsor dan Banjir

Ilustrasi kerusakan hutan. (Foto: Ilustrasi)

Editor: M Kautsar - Rabu, 10 Februari 2021 | 06:00 WIB

SariAgri - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebut kerusakan hutan di NTB telah mencapai 78 persen. Kerusakan tersebut didominasi berbagai faktor seperti alih fungsi lahan, ilegal logging, hutan tanaman industri, hingga aktivitas pertambangan.

Kondisi itu membuat adanya dugaan bahwa kerusakan hutan menjadi pemicu bencana alam yang belakangan ini terjadi di sejumlah wilayah di NTB.

"Kondisi hutan kita ini sudah kritis, bahkan sebanyak 78 persen wilayah hutan kita sudah mengalami kerusakan dimana sisa tutupan lahannya itu 22 persen dengan laju kerusakan setiap tahunnya itu 1,4 persen. Jadi tidak heran sekarang banyak terjadi bencana alam," ungkap Direktur Walhi NTB, Murdani saat dikonfirmasi SariAgri, Selasa (9/2).

Menurut Murdani, salah satu penyumbang terbesar penyebab kerusakan hutan di NTB akibat tingginya alih fungsi lahan menjadi peladangan liar tanaman jagung dan padi. Menurutnya setiap tahun aktivitas alih fungsi lahan kian mengalami peningkatan.

"Alih fungsi lahan yang dulunya bagus kini ditanami jagung juga menjadi faktor utama adanya bencana, di mana dari data kita jumlah lahan yang dialihfungsikan itu mencapai 345.000 Ha, jumlah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2004 yang hanya seluas 275 hektare,” kata dia.

Di samping itu, Murdani mengatakan aktivitas ilegal logging juga cukup berpengaruh terhadap ekosistem hutan. Di mana menurutnya pemerintah setempat masih sangat lemah dalam penegakan hukum untuk para pelaku penebangan pohon liar.

Belum lagi ditambahkan Murdani, hutan tanaman industri (HTI) juga cukup tinggi hingga mencapai 97 hektare.

"Dalam penegakan hukum pemerintah hanya memproses buruh penebang, tetapi tidak sampai ke para pengepulnya. Seharusnya pemerintah juga menelusuri itu," ucap Murdani.

Tak hanya itu, aktivitas pertambangan juga cukup menggerogoti hutan di NTB. Dari data dihimpun Walhi, kerusakan hutan akibat izin pertambangan mencapai 248 ribu hektare.

Luasan tersebut diprediksinya bisa semakin bertambah. Terlebih izin penggunaan hutan sebagai kawasan pertambangan juga turut mengalami peningkatan. Apalagi data ini dicatat Walhi terakhir ditahun 2017 lalu.

"Untuk izin tambang itu sudah mencapai 248 Ribu hektare, belum lagi kita berbicara terkait tambang ilegal yang hingga kini belum bisa di kontrol oleh pemerintah," tambahnya.

Dengan luasan hutan rusak mencapai 690 ribu hektare, ini berarti terjadi lebih dari 78 persen hutan rusak dari total kawasan. Kerusakan hutan disebutkan sebagian besar berada di wilayah Sumbawa dan Bima. Kemudian Lombok serta kawasan Gunung Rinjani.

Jika dikomparasikan dengan data dari dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) NTB. luas kawasan hutan yang kritis sampai 2019 sebanyak 280.941 hektare. Angka ini meningkat dibandingkan 2013 yang mencapai 141.376 hektare. Disebutkan juga dalam data tersebut alih fungsi lahan di dalam kawasan hutan mencapai 280.941 hektare.

Namun demikian, jumlah tersebut menurut Walhi tidak akurat. Pasalnya, data tersebut dikatakan walhi tidak sesuai dengan data instansi yang lain serta kondisi yang terjadi di lapangan.

"Terkadang pemerintah ini tidak akurat dalam menyajikan data, dari mana bisa menemukan jumlah tersebut jika di instansi lain saja jumlahnya berbeda apalagi di lapangan," pungkasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, Madani Mukarom, mengatakan alih fungsi lahan di luar kawasan hutan lebih berkontribusi terhadap bencana banjir. Dia mengatakan, lahan yang kritis  di luar kawasan hutan jauh lebih besar dibandingkan di dalam kawasan hutan yang mencapai 280.941 hektare, sementara di luar kawasan hutan mencapai seluas 577.650 hektare.

“Kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab banjir itu bukan dari hutan yang gundul saja, melainkan dari bukit-bukit lahan di luar kawasan hutan juga berkontribusi,” katanya.

Menurutnya, lahan-lahan yang dulunya berada di luar kawasan hutan berupa kebun. Sekarang sudah banyak yang ditebang pohonnya oleh masyarakat untuk pembukaan lahan baru.