Multiusaha Kehutanan Ciptakan Peluang Baru, Apa Tuh?

Ilustrasi hutan. (pixabay)

Editor: Tatang Adhiwidharta - Kamis, 29 September 2022 | 19:45 WIB

Sariagri - Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menilai kebijakan multiusaha kehutanan yang diterbitkan pemerintah menciptakan peluang baru dalam pengelolaan kawasan hutan di tengah penurunan potensi kayu.

"Kalau tidak dibuka kesempatan ini, industri kehutanan otomatis akan hancur. Kenapa? potensi kayu makin turun sekarang, padahal selama ini yang diandalkan hanya kayu," kata Wakil Ketua UMUM Bidang Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari APHI Soewarso dalam lokakarya hambatan dan solusi multi usaha kehutanan di Hotel JW Marriot, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Soewarso menjelaskan Indonesia kini menghadapi tantangan berat dalam perdagangan kayu internasional akibat adanya tuntutan sertifikat Forest Stewardship Council (FSC). Sementara itu, jumlah pengusaha hutan di Indonesia yang telah mendapatkan sertifikat FSC masih sedikit.

"Walaupun Indonesia memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas, namun pembeli menuntut adanya sertifikat FSC," katanya.

Di sisi lain, kompetitor kayu global tidak suka bila Indonesia menguasai pasar. Hal itu membuat bisnis kayu menghadapi tantangan cukup berat.

Soewarso menuturkan kebijakan multiusaha kehutanan mengubah cara berpikir pengusaha untuk melakukan transformasi bisnis yang sebelumnya berorientasi kayu menjadi produk-produk lain meski di dalam satu izin usaha.

Beragam produk diversifikasi dari skema multi usaha kehutanan, antara lain jasa lingkungan, ekowisata, wanatani, pangan, biomassa, dan kegiatan hasil pembuatan produk bukan kayu.

Baca Juga: Multiusaha Kehutanan Ciptakan Peluang Baru, Apa Tuh?
Lampung Tanam 1.770 Bibit Pohon Jaga Sumberdaya Air

Menurut dia, ada tiga aspek yang harus menjadi perhatian dalam pengelolaan hutan melalui skema multiusaha, yaitu kelestarian lingkungan, kelestarian sosial, dan kelestarian ekonomi.

"Tiga aspek itu menjadi prasyarat untuk mentransformasikan paradigma baru melalui pendekatan ekosistem lanskap. Masyarakat juga harus mendapat perhatian supaya mereka bisa terlibat dalam bentuk kemitraan kehutanan," ujar Soewarso.